Monday, May 20, 2013

Pondasi Rumah Tangga (2)

Pondasi Rumah Tangga (2)

Setiap Jumat biasanya saya menulis sesuatu yang lucu atau yang membuat kita tersenyum. Namun kali ini saya akan melanjutkan bagian kedua dari tulisan kemarin [Pondasi Rumah Tangga 1]. Apa yang saya tulis ini sudah saya coba terapkan dan jalankan dalam kehidupan rumah tangga saya.
Pada tulisan kemarin sudah dibahas pondasi pertama dan kedua. Sekarang kita lanjutkan dengan pondasi ketiga: Menghidupkan semangat to give bukan to get. Caranya, masing-masing pihak mengedepankan pertanyaan apa yang bisa saya berikan, bukan apa yang bisa saya dapatkan.
Saya pernah merasakan kehidupan yang gelisah dan tak bahagia. Apa sebabnya? Karena saya melupakan pilar yang ketiga ini. Saat itu saya lebih sering bertanya, “Kok, istri saya kurang perhatian kepada saya ya? Padahal, saya sudah banyak memberi yang ia butuhkan. Mengapa istri saya tak mau memahami perasaan saya? Padahal, saya selalu berusaha memahaminya.”
Perasaan gelisah dan tak bahagia perlahan pergi saat saya kembali kepada pondasi ketiga ini. Memberikan sesuatu kepada pasangan hidup itu adalah kenikmatan, pahalanyapun dijanjikan berlimpah. Namun, ingatlah, pemberian itu bukan untuk kita kenang apalagi untuk disebut-sebut di berbagai kesempatan. Ketidakharmonisan dan ketidakpuasan dalam keluarga diawali dari kebiasaan kita menghitung-hitung pemberian.
Sebaliknya, apa yang kita terima dari pasangan hidup, kenanglah. Kita perlu membiasakan diri memberikan apresiasi dan ucapan terima kasih sekecil apapun pemberian itu. Saya merasakan semakin sering saya mensyukuri karunia yang saya dapatkan dari istri, ternyata cinta kasih dan perhatian yang saya dapat justru semakin berlipat.
Pondasi keempat, suami adalah pakaian bagi istri dan istri adalah pakaian bagi suami. Fungsi pakaian adalah melindungi dan memperindah. Sebagai suami kita harus menutupi kelemahan dan kekurangan istri. Begitu juga sebaliknya, seorang istri tidak boleh mengumbar cerita tentang kekurangan dan kelemahan suami meski kepada saudara kandung sekalipun.
Adapun memperindah itu bermakna kita perlu mendukung pasangan hidup agar potensi terbaiknya muncul dan dioptimalkan. Saya sangat menyadari bahwa percepatan-percepatan keberhasilan hidup yang saya nikmati dikarenakan peran besar istri saya. Tanpa peran istri, kehidupan saya tidak akan sebaik saat ini.
Keluarga saya bukanlah keluarga yang terbaik. Namun dengan empat pondasi ini kami mampu menghadapi konflik dan perbedaan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang kami jalani.
Nah, saya sudah berbagi empat pondasi keluarga saya. Sekarang, maukah Anda berbagi apa pondasi keluarga Anda?
Salam SuksesMulia!
Ingin ngobrol dengan saya? Follow saya di twitter: @jamilazzaini

Pondasi Rumah Tangga (1)

Pondasi Rumah Tangga (1)

Saat perjalanan dari bandara Soekarno Hata menuju rumah semalam, saya membuat kultwit tentang rumah tangga. Apa yang saya sampaikan melalui twitter tersebut dipengaruhi perjumpaan saya dengan konsultan keluarga @Noveldy dan keluarga harmonis Satria Putra dan istrinya Rahmi Salviviani di Pekanbaru, Riau. Beberapa ilmu yang saya peroleh dari mereka intisarinya saya tuangkan dalam kultwit tersebut.
Di tengah-tengah kultwit, ada yang bertanya, “Apakah kek Jamil pernah konflik dengan istri? Bagaimana agar keluarga kita bebas dari konflik?” Perlu saya sampaikan, saya tentu pernah konflik dengan istri. Dan uniknya, usai terjadi konflik kami justru semakin mesra.
Konflik tak perlu diniatkan. Tetapi pastilah dalam kehidupan terkadang kita punya ego, ide dan pendapat yang berbeda dengan pasangan hidup kita. Tuangkanlah walau mungkin menimbulkan konflik. Jangan pernah enggan berbeda pendapat dengan pasangan hidup hanya karena khawatir terjadi konflik, itu akan sangat berbahaya di kemudian hari.
Bagaimana agar konflik bisa dikelola? Saran saya, milikilah pondasi keluarga yang kuat. Setiap keluarga pondasinya boleh jadi berbeda-beda. Saya akan berbagi tentang pondasi di keluarga saya dan semoga bisa menginspirasi Anda.
Pondasi pertama, jadikan iman sebagai imam. Agar kami punya arah dan pegangan yang jelas maka kami menjadikan ajaran agama sebagai panduan menyelesaikan berbagai macam konflik di dalam keluarga. Baik dan buruk, salah dan benar di dalam keluarga ukurannya adalah ajaran agama. Sebagai suami, sayapun harus tunduk kepada istri dan anak-anak bila mereka memiliki alasan (dalil) yang lebih kuat dibandingkan saya.
Misalnya dalam urusan nafkah, agama yang saya anut mengajarkan bahwa mencari nafkah adalah tanggungjawab suami. Maka saya tidak pernah meminta penghasilan istri sedikitpun. Apabila saya menggunakan uang istri, itu statusnya pinjam yang harus saya kembalikan. Istri saya berhak marah apabila saya ingkar janji tidak membayar hutang. Dalam kondisi seperti ini, saya harus diam karena memang saya bersalah.
Pondasi kedua, suami adalah pemimpin dalam keluarga. Sebagai pemimpin, saya harus terus belajar memberikan arah yang benar. Setiap saat menyediakan telinganya untuk mendengar, menyediakan dadanya untuk bersandar dan menyadari betul bahwa nasihat terbaik adalah teladan. Sebagai pemimpin, saya pun harus terus melatih diri untuk bisa menyerap aspirasi dan membaca suara hati anak dan istri.
Selain memberikan arah dan mengambil keputusan, pemimpin itu tugasnya melayani bukan menuntut untuk dilayani. Dalam urusan ini, saya memang harus terus belajar dengan istri. Karena faktanya istri lebih banyak melayani saya dibandingkan saya melayani dan memanjakannya. Terkadang saya malu pada istri dan diri sendiri, betapa saya masih jauh dari sempurna.
Apalagi pondasi berikutnya? Kita lanjutkan besok, ya…
Salam SuksesMulia!
Ingin ngobrol dengan saya? Follow saya di twitter: @jamilazzaini